Aku menyukainya. Sangat-sangat menyukainya…Musim semi. Musim semi kini telah datang kembali. Ini yang paling dinanti-nantikan. Setiap hari menjadi hari minggu hingga 2 pekan yang akan datang. Ya, musim semi menjadi musim terindah di sepanjang sejarah semua orang. Daun-daun berguguran seakan mengucapkan “Selamat berlibur” kepada mereka yang menyambut musim semi dengan bahagia. Dan di antara ribuan bahkan milyaran dari mereka terdapat aku dan Park Chan Yeol, namja yang telah resmi menjadi kekasihku selama 2 tahun terakhir ini.
“Duduklah. Aku akan kembali.” Pria berperawakan jangkung itu tersenyum lalu berlalu.
Kutatap tubuh yang tengah berlari itu, “Kau selalu membuatku jatuh cinta setiap hari”aku tersenyum. Ya, dia selalu melakukan hal-hal yang tidak terduga dan membuatku bahagia, membuatku jatuh cinta.
“Untukmu” Tanpa kusadari Chan Yeol oppa1 kini sudah duduk disampingku seraya menyerahkan sebotol kaleng kearahku.
“Gomawo2” Kuambil botol itu dari tangannya.
Namun sedetik kemudian dia mengambilnya kembali dan membukakan tutupnya. Halis kananku refleks terangkat seakan berkata, ‘kenapa?’
”Aku tak yakin kau bisa membukanya.”dia tersenyum meremehkan tapi terlihat manis lalu memberikannya kembali kepadaku.
Sejenak aku melupakan sebuah kebodohanku: MEMBUKA TUTUP BOTOL MINUMAN BERKALENG
Aku menggeleng. Hanya tawa kecilku yang menanggapinya. Dia memang menggemaskan. Dia sangat hafal diriku. Ya, Chan Yeol oppa memahamiku.
“Kenapa?” Dia menatapku yang sedang tersenyum girang.
“Tidak,” pandangan Hye Na menerawang ke depan sana “Hanya saja aku menginginkan semua hari selalu ada kau didalamnya, seperti hari ini” ucapku sambil meminum minuman yang telah Chan Yeol oppa berikan tadi.
‘Tuhan…untuk kesekian kalinya aku mengharapkan ini. Jangan pernah pisahkan aku dengan dia, Chan Yeol oppa. Kumohon…’
Oppa1: Panggilan untuk kakak laki-laki dari adik perempuan/ panggilan untuk kekasih pria/ panggilan untuk lak-laki dewasa yang akrab dari perempuan. Gomawo2: Terima kasih |
“Apa kau mengira aku akan meninggalkanmu, Kang Hye Na?” ucapannya setengah berbisik. Dia menatapku sayu.
BINGO! Chan Yeol oppa membaca pikiranku. Dengan segera aku membuang pikiran itu jauh-jauh.
“Ehh? Bu.. bukan, bukan seperti itu oppa” sambil tersenyum miring. Sialnya jawabanku terbata. Tentu saja mungkin sekarang dia semakin yakin atas tudingannya tadi.
“Apa kau mengkhawatirkan hubungan kita yang tersembunyi dari ayahmu?”ada sedikit tikaman yang tersirat dalam ucapannya, kali ini sambil meneguk minuman kaleng yang dia beli di persimpangan jalan tadi.
“Maafkan aku…”suaraku menurun.
“Malhaebwa!3”Chan Yeol oppa mengubah posisinya. Dia menghadapku dan menatapku dengan penuh delik kekhawatiran. Memintaku untuk menjabarkan apa yang mungkin menjadi kekhawatiranku atas hubungan kami. Tapi mungkin sedetik kemudian dia menyembunyikannya agar tak ingin membuatku sedih.
‘Aku tahu sebenarnya kau mengkhawatirkan semua kekhawatiranku. Maaf..’ ucapku lirih dalam hati.
“Ayah adalah pria tangguh nomor satu yang selalu menjagaku.” Tuturku yang entah sedang menatap apa. Kosong.
“Benarkah?” dia bertanya tanpa menatapku.
Chan Yeol oppa terdiam, membungkam. Ia terus saja memperhatikan minuman kaleng yang berada di genggamannya. Sampai akhirnya ia tersenyum dan menoleh ke arahku yang ada di sampingnya. Cukup jeda yang lama, kemudian ia menggenggam tanganku. “ Dan Park Chan Yeol adalah pria tampan yang memiliki sepasang mata bulat yang selalu menatapmu, hidung lancip yang selalu mencium bau bahaya disekitarmu, dan bibir beradiksi yang selalu membuatmu candu akan senyuman manisku.” Chan Yeol oppa menuntun tanganku mengusap wajahnya. Memeluk serta menuntun telunjukku dengan tangannya untuk mengitari daereh sekeliling matanya, mendaki hidung mancungnya, dan menyebrangi 2 belahan bibirnya. Dia tersenyum, senyuman tulus yang tak menikam. Tersirat kebahagiaan di antara aku juga Chan Yeol oppa saat ini. Aku tak bisa mengontrol diriku untuk tidak tersenyum senang mendengar perkataannya.
“Hei, aku belum selesai…” Ucapnya menggantung lalu mengusap pipi meronaku.
‘Merah? Panas? Ya Tuhan! Bagaimana ini?’
Ya, dia mengatakan itu karena pasti melihat rona di pipiku sebelumnya.
“Dan terakhir ada ini..”dia memperlihatkan kedua tangannya. “Kedua tangan Park Chan Yeol yang akan merangkulmu agar kau tak salah arah. Dan menjadi pria nomor dua setelah ayahmu yang akan menjaga serta mencintaimu.”
“Menjijikkan!” aku mencoba menggodanya.
“Hmm,” dia menganggukkan kepala meng’iya’kan perkataanku. “Kini dan nanti.” Ucapnya melanjutkan.
Ah, ini gila! Pipiku mungkin semakin bertambah merah. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan itu secara berkala? Merah karena betapa malunya ketika pria yang kucintai itu memergokiku dalam keadaan ‘melayang’. Juga merah karena rayuan. Rayuan? Tidak. Kata itu mungkin tidak cocok untuk menggambarkannya. Tapi mungkin itu adalah sebuah penuturan yang menjelaskan betapa bahagianya dia menjadi pria nomor dua yang akan dan selalu menjagaku setelah ayahku.
Aku tersenyum haru. Dia yang telah membuat setetes air jatuh di sudut mataku. Park Chan Yeol.
‘Percayalah, setelah ini aku tidak akan meragukanmu lagi.’
Dia mengusap bulir-bulir yang mengemban itu. Dengan sekejap mata, kini tubuhku telah berada di dalam rengkuhannya. Memelukku sayang. Mencoba mengusir semua kegundahan yang tengah merasuki pikiranku bahwa Chan Yeol oppa akan meninggalkanku.
‘Lagi. Hari ini kau membuatku jatuh cinta…’ senyumku mengembang dalam dekapannya.
TTT
Aku Kang Hye Na. Aku bersekolah di KJ International High School of Performing Arts. Seharusnya tidak buruk bukan gadis berumur 17 tahun sepertiku berpacaran? Yah memang tidak buruk. Tapi mungkin sebaliknya menurut ayahku. Inilah yang membuat hubunganku dengan Park Chan Yeol harus berjalan secara sembunyi.
Hubunganku bersama Chan Yeol oppa memang baik, bahkan sangat baik. Diantara kami tidak pernah ada pertengkaran dan masalah-masalah lainnya yang terjadi pada pasangan kekasih pada umumnya.
Tapi satu kendala yang benar-benar tak bisa kami hindari, yaitu Ayah. Ayah yang melarangku untuk berkencan dengan seorang pria manapun. Ia tak ingin putri semata wayangnya yang notabene seorang bintang sekolah terganggu prestasinya. Yah.. memang kuakui, itu hal yang lumrah yang dialami seorang ayah atau lebih tepatnya orang tua yang seharusnya.
Ayah menginginkanku agar terus bersahabat pada “tumpukan buku”. Lembar demi lembar harus kumakan setiap harinya. Membolak-baliknya dengan penuh keseriusan. Jujur, aku lelah. Ini sangat menyebalkan.
TTT
Tak terasa sore ini adalah sore terakhir dari 14 hari berlibur, masih di musim semi. Esok adalah hari kesibukan dimulai. Pukul 07.00 AM kami sudah fokus pada rutinitas masing-masing. Dimana Ayah pergi ke Tae Min Cancer Hospital dan Tae Min Corp, Ibu pergi memantau aktivitas Lotte Duty Free milik keluarga kami yang tak jauh letaknya dengan rumah, dan aku? Ya, apa lagi yang dapat kulakuan selain pergi ke sekolah?
TTT
“Na galkkae4” kucium pipi kedua orang tuaku bergantian.
“Apa kau yakin akan pergi dengan minibus?” kesekian kalinya pria kolot berumur 43 tahun itu bertanya.
“Tentu. Aku akan pergi bersama Yun Hee hari ini.” Ucapku meyakinkannya.
“Geurae5. Pergilah. Hati-hati dan cepat pulang Hye Na~ya.” Ibuku tersenyum dan melambaikan tangan sebelum aku benar-benar hilang di hadapannya.
Butuh waktu 5 menit untuk dapat sampai ke halte bus dengan berjalan kaki dari rumahku. Kuusap peluh yang sedikit menghiasi kulit wajahku. Namun sedetik kemudian, senyumku mengembang tatkala melihat sosok itu tengah menungguku disana.
“Seharusnya aku menunggumu di depan rumah. Aku sudah menduga pasti kau akan berkeringat dan kelelahan” ia merogoh saku jaketnya, mengambil selembar sapu tangan dan menyapukannya ke wajahku yang sedikit berkeringat.
‘Chan Yeol oppa mencemaskanku’ hatiku sedikit berdesir melihat kecemasan di wajahnya.
“Yeah, ini tidak buruk. Keringat tak akan menghapus kecantikanku, Oppa”
Na galkkae4: Aku pergi Geurae5: Baiklah |
“Ck” ia mendecak dan menggeleng-geleng kegelian mendengar tuturanku.
“Sepertinya ayahmu akan melewati jalan ini sebentar lagi. Kita harus cepat sebelum dia menemukan kita” dia menyerahkan helm berstandar nasional kepadaku dan dengan cepat aku memakainya.
“Aku akan menggunakan kekuatan Thunder Speed. Jadi kau bersiaplah, Hye Na~ya” ya, Thunder Speed adalah istilah kami. Tidak. Itu adalah istilah Chan Yeol oppa. Karena dia benar-benar akan menjalankan sepeda motornya seperti orang yang sedang kesetanan. Jika Chan Yeol oppa sudah mengatakan Thunder Speed, maka saatnya untuk berpegangan erat pada tubuhnya. Bibirnya mungkin kini sedang menyungging di balik helm yang ia pakai. Kupeluk dia dan ikut tersenyum. Tersenyum untuk mensyukuri betapa bahagianya aku dapat bersamanya.
‘Ayah, Ibu, Yun Hee… Maafkan aku…’ untuk kesekian kalinya aku membohongi kedua orang tuaku. Menjual nama sahabat karibku, Yun Hee, hanya untuk sekedar sebuah alasan yang—mungkin menurut kebanyakan orang—terdengar konyol. Yap! Aku membohongi kedua orangtuaku hanya agar dapat pergi ke sekolah bersama dengan Park Chan Yeol, Chan Yeol oppa.
‘Maafkan aku, sungguh. Maafkan aku.. Seandainya Ayah dan Ibu tidak membuat larangan ini, pasti aku tidak akan berbohong terlalu jauh lagi’
Udara pagi menampar kami sedikit keras. Sepeda motor merah darah milik Chan Yeol oppa berlari cepat membawa jasad kami melintasi jutaan macam kebahagiaan yang menimpa kami pagi ini.
TTT
KJ International High School Of Performing Arts
“Aissh! Padahal ini musim semi, tapi udaranya seperti musim salju saja” kedua telapak tangannya bergesekkan, berharap ada sedikit kehangatan yang keluar dari sana untuk sedikit mencairkan kedinginan di pagi ini. Kini tangan dingin itu beralih menangkap tanganku, sedikit mengayunkannya sambil berjalan.
“Oppa…” ucapku yang berhasil membuat perjalanan kami menuju lantai atas (read:kelasku) terhenti sejenak.
“Hmm?” mata bening itu menatapku.
“10 menit lagi bel akan berbunyi”
Akhiran ~ya biasanya digunakan untuk memanggil nama seseorang yang sudah akrab Akhiran ~ssi biasanya digunakan untuk memanggil nama seseorang yang disegani/terhormat/lebih tua |
“Lalu?”
“Kau akan terlambat di jam pelajaran pertama jika kau mengantarku sampai ke depan kelas.”
Sejenak Chan Yeol terdiam. Pandangannya terpaku pada jalanan berserbuk dedaunan pohon Baby’s Breath yang terhampar di hadapan kami. Mungkin saja dia sedang mempertimbangkan apa yang menjadi penuturanku tadi.
“Ah.. geogjeongma6,” kakinya melangkah kembali sebelum bibirnya menyungging rapi seakan semua akan baik-baik saja. “Aku hanya menjalankan perintah yang sudah dipercayakan kepadaku” lanjutnya.
“Perintah?”
“Ya, perintah. Tuhan.”
‘Well, I know what you mean, Park Chan Yeol’ gumamku ber-smirk. Ya, smirk. Smirk yang menurut kebanyakan orang terlihat aneh. Dan akupun mengakuinya.
“Nan ara, Park Chan Yeol~ssi!”
“Arayeo7?” matanya yang bulat semakin membulat dibuat-buat, tentu dengan fake shock expressionnya. Aku yakin dia mengetahui bahwa aku juga mengerti kemana arah pembicaraannya. Yap! Pasti berujung dengan patahan kata romantis—mungkin, yang menurutku terlalu berlebihan. Sungguh ini adalah moment menjijikkan Park Chan Yeol, dan Sungguh! Ini pun terlihat manis, membuatku terpingkal-pingkal dibuatnya. Sampai pada akhirnya bel jam pelajaran pertama berbunyi tepat disaat Chan Yeol oppa dan aku sampai di depan kelasku.
“Cha, masuklah! Perhatikanlah gurumu saat dia mengajar, pahamilah setiap perkataannya.” Tangannya yang dingin itu mencubit pipiku lembut. Dan aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku pertanda mengerti.
“Baiklah, Ayah juga akan belajar dengan rajin supaya menjadi pintar. Setelah itu Ayah akan mencari pekerjaan untuk menafkahi keluarga kita kelak, okay?”
Setidaknya sederetan kalimat itulah yang Chan Yeol sampaikan padaku sebelum akhirnya ia mengacak-acak rambutku sayang dan segera bergegas kembali ke lantai bawah dimana tempat ia belajar di tahun ini, semester akhirnya.
Geogjeongma6: Jangan khawatir Arayeo?7: Kau tahu? |
Aku hanya meyeringai dan menggeleng-gelengkan kepalaku pelan. Sungguh perkataan yang kolot. Bagaimana bisa dia memikirkan hal-hal seperti itu dari sekarang? Bahkan aku pun belum mengetahui dan merencanakan bagaimana dan dengan cara apa aku dapat bernafas esok hari. Hhh… Park Chan Yeol yang menyebalkan!!!
TTT
05.48 pm Seoul, Korea Selatan
“Neowasseo8, Hye Na~ya?” eomma memanggilku dari arah dapur.”Mandilah lalu ganti pakaian. Eomma memasak pleuton untukmu hari ini.” Perintah Ibuku, yang memang ‘sedikit berisik’.
Kuganti sepatuku dengan sandal yang memang dikhususkan untuk dipakai di rumah yang terletak di depan pintu masuk. Segera kusahut perintahnya agar ‘bom tidak cepat meledak’. “Oh nde, eommonim9.”
Kuhabiskan waktu sekitar 30 menit untuk mandi, berganti pakaian, dan sedikit memoles wajahku. Kini, saatnya untuk menyantap pleuton ibuku yang sejak tadi aromanya terus menerus merayuku.
Kususuri puluhan buah anak tangga rumah kami. Dari tangga ini, aku bisa memandang ayahku sudah terduduk rapi menungguku.
TTT
Gelap semakin menjalar ke arah barat. Dan kini mulai hitam pekat. Kutatap pemandangan kota Seoul dari balik jendela kamar rumahku. Kunikmati perubahan udara yang sedang terjadi, dari hangat hingga kurasa udara malam mulai hadir.
Ada banyak hal yang masih tak kumengerti tentang dunia ini. Mulai dari hidup, bahagia, dan cinta? Masih terngiang ucapan ayah saat di ruang makan tadi.
“Aku melihatmu bersama pria itu lagi tadi pagi” Ayah berucap di tengah-tengah acara makan kami. Ia masih fokus dengan piringnya namun tetap serius.
Mataku membulat, “...” aku masih terbungkam dalam keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai dan seakan tidak terjadi apa-apa.
Ayah menghentikan aktivitasnya seketika, “Apa kau belum mengerti juga Hye Na?” Ayah masih tetap tenang dengan nada suaraya.
Neowasseo7: Kau sudah datang? Oh nde, eomonim9: Oh iya, Ibu |
Lagi, peristiwa ini terjadi. Ini benar-benar membuat selera makanku hilang. Segera kutaruh garpu dan pisau—yang tadi kupegang—di atas piringku. Aku berusaha hati-hati menjawab perkataan Ayah. Kutatap matanya dengan nanar, “Aku tidak lagi gadis 14 tahunan, Ayah. Usiaku 17.”
“Hye Na!” kali ini Ibu bersahut dan sedikit membentakku.
Aku benar-benar terkejut dengan nada tinggi itu.
‘Ibu membentakku…
Ibu membentakku…’
Dengan mata berair kutatap Ayah dan Ibuku bergantian.
“Jeongmal10… “ Dengan marah, Ayah bangkit dari kursinya dan pergi ke kamarnya.
“Maafkan aku. Kuharap kau akan mengerti setelah peristiwa ini Hye Na.” ucap Ibu sebelum dia pergi bangkit dari kursinya dan bergegas menyusul Ayah sembari tersenyum ke arahku.
Kini, aku benar-benar sendiri. Ayah dan Ibu kini benar-benar meninggalkanku sendiri.
Air mataku tak lagi menggantung, kini dia telah jatuh ke tanganku yang kusimpan diatas pahaku. Aku benar-benar tak bisa membendungnya lagi. Aku menunduk dalam isakkan tangisku. Aku benar-benar menyesal telah membuat orang yang paling kuhormati di dunia ini kecewa terhadapku. Aku benar-benar menyesal.
“Maafkan aku, Ayah. Sungguh, Maaf…” ucapku lirih.
TTT
Kehangatan kini menjalar di seluruh keramaian khalayak ibu kota. Langit pun seketika cerah membebaskan penat-penat yang bersarang di ubun-ubun kepala para pelajar. Mengingat Jun seosaengnim11 meracuni para pelajar kelas Sains dengan cekokan mautnya. Dengan apa lagi selain dengan berbagai macam strategi dan rumus soal Physics yang menyebalakan, tapi memang harus diakui hari ini begitu cerah dan sepertinya akan menyenangkan, pikir Hye Na saat itu.
Jeongmal10: Benar-benar/Sungguh Seosaengnim11: guru |
Hye Na menelusuri lorong-lorong sekolah bersama Yun Hee, teman sebangkunya. Mereka hendak pulang bersama dan berencana untuk berpisah di gerbang sekolah. Tentu, karena Chan Yeol telah menunggu untuk mengantar gadisnya pulang. Sampai di lantai 2, mereka mendapati keramaian disana. Entah ada perayaan apa, banyak para pelajar wanita yang berteriak antusias disana. Pantas saja, kelas musik. Mungkin disana ada banyak anak band atau semacamnya yang membuat para pelajar wanita meleleh dibuatnya. Aku sama sekali tak tertarik, gumam Hye Na dalam hati.
Akibat kecepatan lintas angin, virus para pelajar di kelas musik tadi dengan secepat kilat hinggap di diri Yun Hee. Tiba-tiba saja Yun Hee menarik tanganku dengan keras. Hye Na memberontak, tapi apa daya? Kekuatan Hye Na dan Yun Hee bak spons dan batu perbandingannya. Hye Na si penari ballet, dan Yun Hee si pemegang sabuk hitam Taekwondo. Benar-benar tak bisa dibayangkan.
Bukannya melepaskan cengkramannya, Yun Hee malah menyeret Hye Na ke sisi lain dekat tangga.“Yak! Apa yang kau lakukan? Ini sakit sekali Min Yun Hee!!!” teriak Hye Na pada sahabat karibnya itu.
Yun Hee melepaskan genggamannya, “Yak! Hye Na~ya. Itu pria yang kuceritakan tadi di kelas!”. Dia malah balas meneriaki Hye Na dengan tampang konyol seperti gerombolan di kelas musik tadi.
Sekelebat bayangan muncul dipikiran Hye Na. Saat Yun Hee dilempari spidol hitam oleh Jun seosaengnim karena Yun Hee berulah di jam mengajarnya. Ya, Yun Hee dihukum karena ia terlalu ribut menceritakan pria bertatapan tajam dan berahang keras itu. Yang Hye Na dengar dari Yun Hee pria itu bernama Kim Jong In, salah satu pelajar dari kelas musik semester akhir.
Telapak tangan Yun Hee yang bergeser ke kanan dan ke kiri secara berkala di depan mata Hye Na berhasil menghapus lamunan gadis bermata hazel kecoklatan itu.“Namanya Kim Jong In. Dia pandai menari dan rapp. Dia pria yang sangat booming di sekolah kita, Hye Na~ya”. Oh, Tidak! Wajah Yun Hee begitu konyol.
“Aku tak peduli” Hye Na hendak berbalik dan meninggalkan Yun Hee dengan keantusiasannya. Tapi,
BUGGG!
Hye Na menabrak benteng begitu keras dan hampir saja ia hendak terjatuh. Jika bukan Yun Hee yang menopangnya, mungkin kini tubuhnya tengah berbaring di ruang kesehatan sekolah.
“Arrgh, bentengnya terlalu keras Yun Hee~ya”erang Hye Na kesakitan sambil memijit jidatnya.
Yun Hee berusaha mengokohkan tubuh Hye Na kembali, “Hye Na~ya, buka matamu!” bisik Yun Hee kecemasan.
Dalam keremangan, Hye Na dapat melihat benteng yang ia tabrak tadi. Tapi mengapa bentengnya berubah menjadi sesosok pria? Ah, dia terlihat tampan. Dengan iris mata yang tajam, Hye Na yakin bahwa saat berbicara dia selalu menatap mata lawan bicaranya. Rahangnya yang keras membuatnya terlihat semakin mengagumkan untuk dipandang. Dia terlihat sangat memukau dengan balutan warna kulit yang kecoklatan yang kebanyakan orang Korea tidak memilikinya.
Perlahan pria itu tersenyum, “Aku benar-benar tak sengaja. Maafkan aku,” ucapnya penuh dengan ketenangan.
Hye Na hanya bisa mengangguk dan menyeringai konyol seperti yang dilakukan sahabatnya tadi. Virus itu bahkan dengan cepat dapat menjangkit Hye Na yang notabene kebal terhadap penyakit.
Pria itu merogoh sakunya. Bukan, dia merogoh sakunya bukan untuk memberikan selembaran uang dollar kepada Hye Na, tapi dia hanya ingin bersembunyi dari kedinginan musim semi.
“Berapa usiamu?” tanyanya dengan senyuman yang masih terlukis disana.
“17” jawab Hye Na cepat.
“Ah, adik kelas yang manis,” untuk kesekian kalinya, Hye Na ingin sekali berteriak “DIA SUNGGUH MENGAGUMKAN!”.
“Permisi” tiba-tiba saja pria itu mengakhiri perjumpaan yang tidak terduga diantara mereka. Hye Na hanya mengangguk-angguk dengan senyum yang menjijikan.
Tingkahnya yang santun membuat Hye Na merasa ada hal yang belum dia katakan sebelumnya, PERFECT!.
Racun yang diberikan Jun seosaengnim tidak sebanding dengan racun yang diberikan pria tadi. Racun pria tadi terasa manis sekali rasanya. Terasa mengikatkan benang di kedua sudut bibir gadis mungil itu, kemudian menariknya dengan kuat. Membuat Hye Na selalu ingin tersenyum.
‘Oh tidak, Kang Hye Na! Ini sungguh koyol! Sadarlah!!!’ runtuk Hye Na sambil mengetuk-ngetuk kecil kepalanya.
Masih dalam lamunannya, terlihat punggung pria berperawakan tegap itu semakin menjauh. Banyak gadis yang meneriaki dan mengikuti kemana pria itu melangkah. Wajar saja, dia memang pantas dikagumi banyak orang.
TTT
Ada banyak hal yang mencoba menggoyahkan perasaan Hye Na kepada Chan Yeol selama ini. Tapi semua itu tak ada yang berlangsung lama. Semuanya selalu cepat berlalu dan tak bersisa. Termasuk yang satu sedang ia alami kini. Tatapan pria berkulit eksotik itu masih melekat di paradigmanya. Dengan bakatnya, pria itu meperlihatkan kepada Hye Na sisi lain dari keistimewaan seorang Kim Jong In: membentuk sebuah ukiran rucing yang mampu menembus saraf paling ujung dalam tempurung otak Hye Na oleh bibirnya.
Kini gadis anggun itu tengah duduk cantik di depan cermin besar berhiaskan ukiran kepala Hello Kitty raksasa di sudut atas kiri cerminnya. Sembari menyisir rambut panjangnya yang coklat kemerahan, sekelebat bayangan muncul kembali tentang peristiwa siang tadi. Tentang dia, pria bernama Kim Jong In. Tapi seketika tergambar pantulan wajah bersalah Hye Na di cerminnya tatkala mengingat pria yang selalu mencintainya setiap hari. Ia benar-benar merasa bersalah, tak enak hati.
“Yeah, ini takkan berlangsung lama Hye Na~ya.” Ucapnya monolog. Hye Na tersenyum serapi mungkin seraya ia sedikit acungkan tangan kanannya yang dikepal seakan memberikan isyarat semangat yang tersirat untuk dirinya sendiri. Mungkin peristiwa ini juga akan berujung sama dengan peristiwa-peristiwa yang seringkali terjadi, begitu pikirnya. Peristiwa yang menguji kadar kedewasaan mereka dalam menjalaninya. Menjalani cinta kasih yang telah mereka bangun setinggi langit sejak 2 tahun silam. Ya, mereka. Kang Hye Na dan Park Chan Yeol.
Drrrttt... Drrrttt… Drrrttt…
‘Bip’
“Yeobo…12”
“Yak! Hye Na~ya!” belum sempat Hye Na mengakhiri kalimatnya, Yun Hee sudah lebih awal menimpalinya dengan teriakkannya yang nyaring.
Hye Na menempelkan ponselnya kembali ke telinganya, setelah sebelumnya ia menjarakinya. Hye Na dibuat kesal oleh Yun Hee. Seakan tak terima diteriakki sahabatnya, Hye Na menggeser ponselnya dari telinga ke depan mulutnya. Ia tak mau kalah, ia membalas teriakkan sahabat karibnya itu.“Yak! Yak! Yak! Ada apa eoh?!”
“Yak! Jangan meneriakiku seperti itu!” terdengar helaan nafas dari sebrang sana. Mungkin teriakkan tadi membutuhkan banyak energi, pikir Hye Na. “Hei! Kemana kau sepulang sekolah tadi? Mengapa kau meninggalkanku, hah?” introgasi Yun Hee.
Hye Na meninggalkan meja riasnya, kemudian ia menelungkupkan tubuhnya di atas permadaninya: kasur. “Bukankah kau mengatakan hari ini tidak akan ikut pulang bersama?” bukannya menjawab, Hye Na malah balik bertanya.
“Yeah, setidaknya kau memberitahuku saat kau akan pulang”
“Okay, sorry Yun Hee. But I’ll never do it again. Trust me.” terdengar suara Hye Na menjadi parau. Ya, kantuk menghampirinya.
Yun Hee sebenarnya tidak mempersoalkan tentang itu. Dia hanya ingin sekedar mengobrol dengan sahabatnya.
“Menurutmu bagaimana?”
“Apa?”
“Pria itu?!” Yun Hee berusaha menunjuk orang yang ia maksud.
Sepertinya Hye Na benar-benar bodoh dalam hal mengingat, “Pria? Nugu?13”
“Aku benci saat-saat seperti ini bersamamu. Hey, jangan pura-pura bodoh” Yun Hee naik darah. “Kim… Kim…” lanjut Yun Hee seakan memberikan clue.
“Kim? Kim Soo Hyun? Kim Myung Soo? Aissh…Malhae!” Hye Na benar-benar kebingungan.
“Hhh!!! Kim Jong In!” Yun Hee mulai kesal dengan kelemotan sahabatnya.
“Ah, dia.” Tutur Hye Na lega karena terbebas dari keingintahuannya.
“Eottae?14”
“Menurutku dia tidak populer.” Hye Na memelas.
“Yak! Mengapa kau berpikiran seperti itu?” ucap Yun Hee yang terus menerus dibuat kesal Hye Na.
Dengan tenangnya, Hye Na bergumam, “See, aku bahkan baru pertama kali melihatnya sore tadi.”
Nugu?13: Siapa? Eottae?14: Bagaimana?
|
“Aigoo… bukan itu maksudku. Apa kau berpendapat sama denganku bahwa dia begitu tampan…?” nada menjijikkan Yun Hee kembali terdengar. Terakhir kali Hye Na mendengarnya sepulang sekolah tadi. Ya, saat mereka bertemu dengan pria dambaan Yun Hee itu. “Dan kau harus tahu Hye Na, kepopulerannya itu sudah menemaninya 3 tahun di sekolah ini.”
Entah keberapa kali Hye Na melayangkan pikirannya ke peristiwa dimana ia bertatap bahkan bercengkrama dengan seorang Kim Jong In. Hye Na mengingat kembali kepada kesempurnaan yang dimiliki Kim Jong In dari ujung kaki hingga ujung kepala pria itu. “Entahlah, aku hanya merasa ‘sedikit’ tertarik.” Hye Na tersenyum. Tersenyum bahagia tatkala mengingat kesempurnaan milik Kim Jong In. Yun Hee bahkan tak bisa melihat senyuman terbaik sahabatnya.
Ada tawa kecil di sebrang ponsel Hye Na. Ya, Yun Hee tertawa atas jawaban Hye Na. Ada sedikit jeda disana, sebelum akhirnya Yun Hee berkata, “Aku sudah menduganya. So, apa kau menyetujui penuturanku selama ini tentang pria itu?”
“Well, sedikit” mereka tertawa bersama.
TTT
Sudah hampir satu minggu ini aku tidak pernah lagi menggunakannya. Aku lebih memilih pulang-pergi ke sekolah menggunakan kereta api daripada menggunakan mobil-mobil mewah pemberian keluargaku. Hey, jangan konyol! Aku bukannya tidak ingin menggunakannya dengan alasan yang ‘Cuma-Cuma’, hanya saja ada satu hal yang menarik perhatianku di dalam kereta api ini. Makhluk Tuhan berambut hitam kecoklatan panjang yang terbungkus dengan balutan seragam sekolah JK. Kini ia tengah duduk dengan membiarkan kaki kanannya menghimpit kaki yang lain. Jari jemari lentiknya membalik halaman perhalaman dengan mata yang masih fokus ke arah buku yang tengah dibawanya. Dengan hati-hati kukeluarkan ponsel dari dalam sakuku. Tanpa berfikir panjang, kufokuskan lensa kamera ponselku ke arahnya, dan…
‘Ckreekk’
TTT